TINJAUAN HUKUM ATAS
EKSEKUSI OBYEK JAMINAN FIDUSIA
MELALUI PARATE
EKSEKUSI APABILA OBYEK JAMINAN
BERALIH KEPADA PIHAK
KETIGA ATAU MUSNAH
Winda Pebrianti
C. HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
1. Eksekusi Obyek
Jaminan Dalam Pemberian Kredit Macet dengan
Jaminan Fidusia.
Eksekusi obyek jaminan dalam pemberian kredit mecet dengan
jaminan
fidusia dilakukan karena terjadi wanprestasi disebabkan
ketidakmampuan debitur
melakukan kewajibannya sebagai cara penyelesaian terakhir
karena upaya
penyelamatan tidak berhasil.
Sistem eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia yang mentukan, bahwa apabila debitur atau pemberi
fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. Pelaksanaan titel
eksekutorial, yang mempunyai kekuatan sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
b. Penjualan benda
yang menjadi jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri meliputi pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari
hasil penjualan.
c. Penjualan di bawah
tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak.
Ketiga
eksekusi jaminan fidusia tersebut di atas masing-masing memiliki
perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya. Untuk eksekusi yang
menggunakan
titel eksekutorial berdasarkan sertifikat jaminan fidusia
pelaksanaan penjualan
benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata
sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 224 H.I.R/258 RBG, yang prosedur
pelaksanaanya
memerlukan waktu yang lama.
Berbeda dengan penjualan di bawah tangan
pelaksanaanya harus memenuhi beberapa persyaratan antara
lain adanya
kesepakatan antara pemberi fidusia (debitur) dan penerima
fidusia (kreditur).
Alasanya untuk memperoleh nilai penjualan yang lebih baik
untuk memperoleh
harga tertinggi.
a. Eksekusi Obyek
Jaminan Fidusia Melalui Penjualan Barang Jaminan
Eksekusi
dengan penjualan barang jaminan atas obyek jaminan fidusia dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu melalui parate eksekusi
lewat pelelangan umum
dan penjualan di bawah tangan.
1) Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum (Penjualan melalui Kantor
Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) atau Balai
Lelang)
Barang-barang jaminan, yang telah dibebani dengan fidusia
pada dasarnya
harus dijual melalui pelelangan umum, yaitu oleh pejabat
kantor lelang.
Pelelangan barang jaminan dilaksanakan menurut ketentuan dan
tata cara yang
telah ditetapkan dalam
Vendu Reglement, baik Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara (KP2LN) atau Balai Lelang Swasta yang telah
mendapat izin.
Sebagaimana diketahui dengan Surat Keputusan Menteri
Keuangan
Republik Indonesia Nomor 306/KMK.01/2002 Tentang Balai
Lelang tanggal 13
Juni 2002. Penetapan dan pengaturan perihal Balai Lelang
dimaksudkan untuk menyelenggarakan penjualan lelang. Petunjuk teknis
penyelenggaraannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
(DJPLN).
memberi kesempatan labih luas kepada masyarakat, khususnya
dunia usaha
Hak untuk
menjual obyek jaminan tersebut atas kekuasaan sendiri yang
dikenal dengan parate eksekusi merupakan hak penerima
fidusia berdasarkan
Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Fidusia. Hak
tersebut dipertegas dengan
janji yang harus secara tegas dinyatakan oleh pemberi
fidusia bahwa apabila
debitur cidera janji, penerima fidusia berhak menjual obyek
yang dijamin melalui
penjualan umum tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
Pengadilan
Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Fidusia.
Selanjutnya
kreditur (penerima fidusia) mengambil pelunasan kreditnya dari
hasil penjualan tersebut dan mengambilkan sisa hasil
penjulannya, bila ada kepada
debitur. Sebaliknya apabila hasil penjualan harta debitur
tidak mencukupi,
kreditur dapat menuntutnya melalui gugatan perdata sebagai
kreditur konkuren.
Sisa utang pasca eksekusi fidusia tidak hapus, melainkan
masih dapat dituntut lagi
dikemudian hari atas harta lainnya.
Contoh
kasus, misalnya PT. “A” adalah perusahaan yang bergerak dalam
bidang textile. Untuk mengembangkan usahanya PT. “A”
meminjam uang (kredit)
pada Bank “B” cabang Bandung. Pada saat kredit macet pada
tahun 2007 utang
PT. “A” tercatat sebesar Rp. 187 Milyar. PT. “A” disita dan
akan dilakukan
lelang umum oleh Kantor Lelang Negara. Pada saat akan
dilelang ternyata mesin
tidak ada lagi dipabriknya, mesin tersebut telah diambil
oleh lessor (perusahaan
leasing). Di sini terjadi pembuatan faktur dan dokumen
kepemilikan mesin yang
tidak benar oleh debitur. Jaminan lainnya adalah tanah
berikut bangunan senilai
RP.11 Milyar. Buruh menuntut upah yang belum dibayar sebesar
Rp. 1,8 Milyar,
Bank “B” hanya mendapat Rp. 9,2 Milyar, Kerugian yang
diderita oleh Bank “B”
sebesar Rp. 177,8 Milyar. Debitur telah melarikan diri ke
luar negeri, sehingga
kreditur (Bank “B”) menderita kerugian yang sangat besar.
Berdasarkan
kasus inilah dapat dilihat perlunya bank harus memperhatikan
prinsip kehati-hatian dan memperhatikan dokumen yang
diberikan oleh debitur dan menyelidiki kebenaran dari dokumen tersebut.
Kemungkinan terdapat kolusi
antara pejabat bank dengan nasabah, sehingga membuat kredit
menjadi macet.
Disamping itu ada itikad tidak baik dari debitur untuk
melarikan dana yang telah
diperoleh dari bank. Padahal dana yang dimiliki bank adalah
milik pihak ketiga
(masyarakat).
2) Penjualan secara di bawah tangan
Undang-Undang memungkinkan eksekusi jaminan fidusia melaui
penjualan
di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima
fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan
para pihak (Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Fidusia). Oleh karena
penjualan di bawah tangan dari proyek jaminan fidusia hanya
dapat dilaksanakan
bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang fidusia,
bank tidak mungkin
melakukan penjualan di bawah tangan terhadap obyek jaminan
fidusia itu apabila
debitur menyetujuinya.
Pelaksanaan penjualan di bawah tangan baru dapat dilakukan
setelah lewat
waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis
oleh pemberi dan atau
penerima fidusia dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di
daerah yang
bersangkutan (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Fidusia).
Dalam
praktiknya parate eksekusi dengan cara penjualan di bawah tangan
lebih banyak dilakukan dari pada pelaksanaan parate eksekusi
melalui kantor
lelang, hal ini karena penjualan jaminan atas obyek jaminan
fidusia dengan cara
penjualan di bawah tangan lebih menguntungkan. Hal ini
dimungkinkan bila
debitur beritikad baik. Cara penyelesaian ini biasanya lebih
cepat dan tidak ada
biaya bea lelang.
b. Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Melalui
Penagihan Kredit yang
Terutang.
Kredit yang terhutang atas perjanjian yang telah dibuat
dengan jaminan
fidusia dapat dilakukan penagihan. Penagihan atas kredit
dilakukan dengan dua
cara yaitu penagihan di luar pengadilan dan melalui
pegadilan.
1) Penagihan di Luar
Pengadilan
Penarikan kembali kredit dilakukan dengan cara penagihan,
baik secara
langsung oleh Bank tanpa melalui pengadilan, maupun melalui
atau bantuan pihak
ketiga. Upaya penarikan melalui penagihan inipun tidak
selamanya berjalan
lancar, adakalanya harus ditempuh beberapa kali pemanggilan.
Cara yang
disebut terakhir, dalam hal jaminan fidusia harus dipenuhi
beberapa syarat yang ditetapkan Undang-Undang. Apabila
menurut perkiraan
penjualan secara lelang tidak akan menghasilkan harga
tertinggi, Undang-Undang
menetapkan pengecualiaan yaitu dapat dijual di bawah tangan.
Ketentuan
Undang-Undang menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a) Dengan penjualan
di bawah tangan dapat diperoleh harga
tertinggi yang
menguntungkan para pihak.
b) Penjualan tersebut
dilakukan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan
debitur.
c) Pelaksanaan
penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh debitur dan atau kreditur
kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
d) Telah diumumkan
sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar dan
meliputi daerah tempat letak obyek jaminan.
e) Tidak ada pihak
yang menyatakan keberatan.
Apabila
debitur cukup kooperatif dalam
menanggapi upaya bank menagih
kredit yang terutang, melalui negosiasi dan itikad baik yang
ditunjukannya,
permasalahannya dapat diselesaikan dengan baik. Kreditur
atau bank tidak
diperkenankan untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yaitu
langsung mengambil untuk dimiliki dan diperhitungkan dengan
kredit yang
terutang.
2) Penagihan melalui pengadilan
Apabila penarikan kembali kredit dengan cara penagihan
langsung kepada
debitur tidak berhasil, tidak ada jalan lain lagi bagi bank untuk menagih
pembayaran kembali kredit terutang melalui proses
pengadilan. Khusus untuk
bank-bank milik nagara, ketentuan Undang-Undang mewajibkan
penyerahan
penyelesaian kredit macet melalui Panitia Urusan Piutang
Negara, dan
pelaksanaan dilakukan oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara.
Penyelesaian kredit melalui proses pengadilan, dapat
dilakukan baik dengan
cara mengajukan gugatan kepada debitur maupun permintaan
eksekusi, dalam hal
peningkatan jaminan fidusia sudah dilakukan dan bank
penerima Sertifikat
Fidusia sebagai bukti. Permintaan sita eksekusi diajukan
menyertai suatu gugatan
dilakukan dengan melampirkan :
a) Salinan perjanjian
kredit;
b) Salinan pembebanan
jaminan fidusia.
Adakalanya terhadap perintah eksekusi diajukan perlawanan
oleh pihak
ketiga dengan berbagai alasan, bahkan juga dapat oleh
tereksekusi sendiri dengan
dalih jumlah utang tidak sebesar gugatan kreditur. Ketentuan
Undang-Undang
yang berlaku menetapkan bahwa perlawanan tidak menanggughkan
eksekusi
(Pasal 207 dan 208 RIB) kecuali jika Ketua Pengadilan Negeri
memerintahkan
agar pelaksanaan (eksekusi) ditangguhkan sambil menunggu
putusan perlawanan.
Nama : Daniel Eric Thendean
NPM : 21211728
Kelas : 2EB08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar