MEMAHAMI HAKIKAT
HUKUM ISLAM
Oleh: Marzuki
(Jurusan PKn dan
Hukum FISE UNY)
Sumber Hukum Islam
Secara
umum, sumber-sumber materi pokok hukum Islamadalah Alquran dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw. Otoritas keduanya tidak berubah
dalam setiap waktu
dan keadaan. Ijtihad dengan ra’yu (akal) sesungguhnya adalah
alat atau jalan untuk
menyusun legislasi mengenai masalah-masalah baru yang tidak
ditemukan
bimbingan langsung dari Alquran dan Sunnah untuk
menyelesaikannya. Oleh karena
itu, jelaslah bahwa ijtihad dengan berbagai metodenya
dipandang sebagai sumber
hukum yang berkewenangan dengan kedudukan di bawah Alquran dan Sunnah.
Keotentikan sumber-sumber pembantu yang merupakan penjabaran
dari ijtihad
hanyalah ditentukan dengan derajat kecocokannya dengan dua
sumber utama hukum
yang mula-mula dan tidak ditentang otoritasnya. Jika dirinci
lebih khusus, yakni
dalam arti syariah dan fikih sebagai dua konsep yang
berbeda, maka sumber hukum
bagi masing-masing berbeda. Syariah, secara khusus,bersumber
kepada Alquran dan
Sunnah semata, sedang fikih bersumber kepada pemahaman (ijtihad)
manusia
(mujtahid) dengan tetap mendasarkan pada dalil-dalil
terperinci dari Alquran dan
Sunnah.
Secara
harfiah kata Alquran berasal dari bahasa Arab
al-qur`anyang berarti
pembacaan atau bacaan (Munawwir, 1984: 1185). Sedang menurut
istilah, Alquran
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
melalui
Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab sebagai hujjah
(bukti) atas
kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman hidup bagi
manusia serta sebagai
media dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan membacanya
(Khallaf, 1978:
23).
Sebenarnya
perjalanan hukum Islam menempuh proses yang panjang.
Penafsiran Alquran pada masa-masa awal tidaklah demikian rumit
dan pelik
sebagaimana masa-masa berikutnya. Metodologi pengambilan
kesimpulan dari
Alquran tumbuh semakin lama semakin rumit dan filosofis
dengan dilakukannya
kajian Alquran yang mendalam dan mendetail oleh para ahli
hukum pada masa-masa
berikutnya. Batang tubuh hukum Islam kaya akan contoh-contoh
persoalan yang
menjadikan para ulama berbeda pendapat di dalam mengambil
dasar hukumnya,
sebagian mereka mendasarkan pada Alquran dan sebagian yang
lain mendasarkan
pada Sunnah atau pendapat pribadinya, karena yang terakhir
ini menganggap bahwa
ayat-ayat Alquran yang diajukan tidak relevan dengan
permasalahan yang sedang
dibicarakan. Inilah yang kemudian membawa kepada terjadinya
perbedaan pendapat
dalam fikih Islam.
Perlu
diketahui bahwa posisi Alquran sebagai sumberpertama dan terpenting
bagi teori hukum tidaklah berarti bahwa Alquran menangani
setiap persoalan secara
jelimet(pelik) dan terperinci. Alquran, sebagaimana
kita ketahui, pada dasarnya
bukan kitab undang-undang hukum, tetapi merupakan dokumen
tuntunan spiritual
dan moral. Contoh-contoh yang sering dikutip oleh para
orientalis, seperti yang
diwakili oleh Schacht, lebih banyak berkaitan dengan
kasus-kasus yang aplikasinya
secara mendetail tidak diberikan oleh Alquran, seperti dalam
hukum keluarga, hukum
waris, bahkan cara-cara beribadah dan yang berhubungan
dengan masalah ritual
lainnya (Schacht, 1950). Walaupun pada umumnya ayat-ayat
Alquran yang
menyangkut hukum bersifat pasti, tetapi selalu terbuka bagi
penafsiran, dan aturan-aturan yang berbeda dapat diturunkan dari suatu yang
sama atas dasar ijtihad.
Sumber
hukum Islam yang kedua adalah sunnah. Secaraetimologis, kata
sunnah berasal dari kata berbahasa Arab al-sunnahyang berarti cara, adat istiadat
(kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak
dibedakan antara yang baik dan
yang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim,
“Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam
Islam, maka dia akan
memeroleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan
barang siapa yang
membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh
dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya” (Al-Zabidiy, t.t.: 244; Munawwir,
1984: 716; Al-Khathib,
1989: 17). Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan
dari seseorang. Dalam
konteks hukum Islam, Sunnah merujuk kepada model perilaku
Nabi Muhammad Saw.
Karena Alquran memerintahkan kaum Muslim untuk menyontoh
perilaku Rasulullah,
yang dinyatakan sebagai teladan yang agung, maka perilaku
Nabi menjadi ‘ideal’
bagi umat Islam (QS. al-Ahzab (33): 21 dan QS. al-Qalam
(68): 4).
Secara
terminologis, ada beberapa pemahaman tentangSunnah. Menurut ahli
hadis, Sunnah berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Saw.
yang berupa perkataan,
perbuatan, penetapan, sifat, dan perjalanan hidup beliau
baik pada waktu sebelum
diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya (al-Khathib, 1989:
19).
Bentuk Sunnah bisa bermacam-macam. Sesuai
dengan definisinya, bentuk
Sunnah ada tiga macam, yaitu ada yang berbentuk sabda Nabi
(sunnah qauliyyah),
ada yang berbentuk perilaku Nabi (sunnah fi’liyyah), dan ada
yang berbentuk
penetapan Nabi atas perilaku sabahat (sunnah taqririyyah).
Dari segi derajatnya,
Sunnah ada yang
shauhih, hasan, dan dla’if, bahkan ada yang maudlu’
(Sunnah
palsu). Sedang dilihat dari segi jumlah penyampainya, Sunnah
ada yang mutawātir,
masyhur, dan ahad. Dan masih banyak lagi pembagian lain dari
Sunnah atau hadis ini.
Sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, fungsi Sunnah adalah
sebagai bayan atau penjelas terhadap Alquran. Fungsi bayan
ini bisa berupa salah
satu dari tiga fungsi, yaitu: 1) menetapkan dan menegaskan
hukum-hukum yang ada
dalam Alquran, seperti sabda Nabi tentang rukun Islam yang
lima merupakan
ketegasan dari firman Allah Swt. yang memerintahkanshalat,
zakat, puasa, dan haji;
2) memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Alquran
atau memerinci apa-apa yang dalam Alquran disebutkan secara garis besar
(tafshil), mengkhususkan apa-apa yang dalam Alquran disebut dalam bentuk umum
(takhshish), atau memberi
batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak (taqyid), seperti
perincian cara-cara shalat yang diberikan oleh Nabiyang
merupakan penjelasan dari
perintah melakukan shalat secara global dalam Alquran; 3)
menetapkan suatu hukum
yang belum ditetapkan oleh Alquran (tasyri’), seperti
haramnya mengawini seorang
perempuan sekaligus.
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad.
Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata al-ijtihad
yang berarti penumpahan segala
upaya dan kemampuan
atau berusaha dengan sungguh-sungguh (Munawwir, 1984: 234).
Secara terminologis,
ijtihad berarti mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan
hukum syara’ yang
bersifat
‘amaliyyahdari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun
Sunnah (Khallaf, 1978: 216; Zahrah, 1958: 379). Dasar hukum
dibolehkannya ijtihad
adalah Alquran, Sunnah, dan logika. NashAlquran dan Sunnah sangat terbatas jika
dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang dihadapi oleh
umat manusia,
sehingga perlu ditetapkannya aturan baru untuk menghukumi
semua permasalahan
yang muncul dan belum diatur oleh Alquran dan Sunnah.
Pada
prinsipnya ijtihad bisa digunakan dalam dua hal. Pertama,
dalam hal-hal
yang tidak ada
nash-nya sama sekali. Dalam hal ini mujtahid dapat menemukan
hukum secara murni dan tidak berbenturan dengan
ketentuan nash yang sudah ada,
karena memang belum ada
nash-nya. Kedua, ijtihad dapat digunakan dalam hal-hal
yang sudah diatur oleh
nash, tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak pasti
(zhanniy al-dalalah).
Nash hukum dalam bentuk ini bisa memberikan kemungkinan-
kemungkinan pemahaman. Dalam hal ini ijtihad berperan di
dalam menemukan
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Cara atau metode yang
ditempuh dalam rangka
berijtihad bermacam-macam, yakni: ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah,
istishhab, ‘urf, mazhab shahabiy, dan syar’u man qablana.s
mengawini bibinya secara bersamaan (Khallaf, 1978: 39-40).
Nama : Daniel Eric Thendean
NPM : 21211728
Kelas : 2EB08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar