acac

acac
ma nta p

Minggu, 05 Mei 2013

POSTING 6



TINJAUAN HUKUM ATAS EKSEKUSI OBYEK JAMINAN FIDUSIA
MELALUI PARATE EKSEKUSI APABILA OBYEK JAMINAN
BERALIH KEPADA PIHAK KETIGA ATAU MUSNAH
Winda Pebrianti



2.  Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Melalui Parate Eksekusi Apabila Obyek
            Jaminan Tersebut Telah Beralih Kepada Pihak Ketiga Atau Musnah.
Dalam pelaksanaan parate eksekusi terdapat kendala-kendala dalam
pelaksanaanya. Beberapa kendala dalam pelaksanaan parate eksekusi diantaranya
adalah obyek jaminan fidusia telah beralih kepada pihak ketiga dan obyek jaminan
fidusia tersebut musnah. Kendala-kendala tersebut dapat menghambat
pelaksanaan eksekusi secara parate eksekusi serta menimbulkan akibat hukum
terhadap eksekusi tersebut.

           Obyek jaminan yang dialihkan kepada pihak ketiga dapat dilakukan dengan
cara jual beli, tukar menukar dan lain-lain. Tindakan pengalihan biasanya diikuti
dengan  tindakan penyerahan agar benda yang dialihkan menjadi milik orang lain.
Umumnya hal ini terjadi terhadap obyek jaminan fidusia berupa barang bergerak
seperti kendaraan, mesin-mesin atau barang-barang persediaan.
Undang-Undang Fidusia secara tegas melarang pemberi fidusia atau debitur
untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang dijaminkan
             dengan jaminan fidusia kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak penerima
fidusia atau kreditur. Hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi : “Pemberi
Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kapada pihak
lain Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda
persediaan, kecuali dengan persetujuan  tertulis terlebih dahulu dari Penerima
Fidusia”.
          Sejalan dengan asas  droit de suit    di atas, terhadap pengalihan barang
persediaan, Undang-Undang Fidusia mengatur barang persediaan yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang telah dialihkan tersebut wajib diganti oleh pemberi
fidusia dengan obyek yang setara sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang Fidusia yang berbunyi : “Benda yang menjadi obyek Jaminan
Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti
oleh Pemberi Fidusia dengan obyek yang setara”.
           Terhadap benda obyek jaminan fidusia yang telah dialihkan kepada peihak
ketiga oleh debitur, terlebih dahulu wajib diganti dengan nilai yang setara oleh
debitur, sebab kreditur tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau
kelalaian debitur baik yang timbul dalam hubungan kontraktual atau yang timbul
dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan
benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia  sebagaimana  di atur dalam Pasal 24
Undang-Undang Jaminan Fidusia.  Selain itu juga ketika debitur mengalihkan
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas hutangnya kepada pihak ketiga
tanpa seizin kreditur maka pemberi fidusia dianggap telah melakukan pidana
penggelapan.
            Permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan parate eksekusi obyek
jaminan fidusia bilamana benda obyek jaminan tersebut beralih kepada pihak
ketiga. Dalam praktiknya sering dijumpai pada saat pelaksanaan parate eksekusi
obyek jaminan fidusia dilakukan ternyata obyek jaminan yang akan dieksekusi
telah dijaminkan atau beralih kepada pihak ketiga.
Sehubungan dengan kasus eksekusi terhadap barang jaminan yang
dialihakan kepada pihak pihak ketiga dengan jalan mejaminkannya kepada pihak
ketiga tersebut  dalam praktiknya sering terjadi. Sebagai contoh kasus misalnya A
sebagai debitur meminjam uang ke bank B sebagai kreditur dengan jaminan
kendaraan bermotor. Perjanjian tersebut dibuat tanggal 1 Februari 2008. Untuk
menghindari eksekusi atas kendaraan bermotor tersebut, debitur A membuat
perjanjian jaminan fidusia pura-pura kepada kreditur C agar seolah-olah perjanjian
jaminan fidusia antara debitur A dan kreditur C lebih dahulu dari perjanjian
jaminan fidusia antara debitur A dan kreditur B, dibuatlah perjanjian antara
debitur A dan kreditur C pada tanggal 1 Agustus 2007.
            Debitur yang tidak jujur dapat melenyapkan harta jaminan dengan berbagai
cara. Salah satunya adalah dengan membawa lari harta yang dijaminkan. Cara lain
untuk melenyapkan harta jaminan adalah dengan memindahkan harta tersebut ke
lokasi tertentu, sehingga menyulitkan bank untuk mengambil alih.
Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa : “jaminan fidusia hapus karena musnahnya
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia”. Selanjutnya Pasal 25 ayat (2)
menetapkan bahwa : “Musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia
tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf
b”. Klaim asuransi tersebut akan menjadi pengganti obyek jaminan fidusia
tersebut.
             Ketentuan akan hapusnya jaminan fidusia dengan musnahnya benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia sejalan dengan isi Pasal 1444 KUHPerdata, yang
menyebutkan bahwa jika barang  tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah,
tidak dapat lagi diperdagangankan atau hilang, sedemikian rupa sehingga sama
sekali tidak diketahui barang itu masih ada, maka hapuslah prikatannya, asal
barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
            Dilain pihak dalam Pasal 5 Akta Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa
apabila bagian dari obyek jaminan fidusia atau diantara obyek jaminan fidusia
tersebut ada yang hilang atau tidak dapat digunakan lagi, maka pemberi  fidusia
dengan ini berjanji dan karenanya mengikatkan diri untuk mengganti bagian dari
obyek jaminan fidusia yang hilang atau tidak digunakan itu dengan obyek jaminan
fidusia lainnya yang sejenis yang nilainya setara dengan yang digantikan serta
yang dapat disetujui penerima fidusia, sedangkan pengganti obyek jaminan fidusia
termasuk dalam jaminan fidusia yang dinyatakan dalam akta ini.
           Dalam  Pasal 10 sub b Undang-Undang Fidusia, yang berbunyi : ”Jaminan
Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi obyek Jaminan
Fidusia diasuransikan”.  Berdasarkan Pasal Tersebut di atas maka penggantian
benda jaminan terjadi secara otomatis, kalau terjadi kerugian yang ditanggung
oleh asuransi. Uang yang diterima oleh kreditur atau penerima fidusia akan
diperhitungkan sebagai pembayaran atau pelunasan hutang debitur.  Jika jumlah
penggantian cukup untuk membayar kewajiban perikatan debitur yang dijamin dengan fidusia tersebut, maka hutang debitur manjadi lunas, jika lebih maka
lebihnya dikembalikan kepada debitur atau pemberi fidusia, sedangkan jika
kurang maka kekuarangannya akan tetap menjadi hutang debitur kepada kreditur,
hanya saja atas sisa hutang itu kreditur sekarang berkedudukan sebagai kreditur
konkuren, kecuali di samping jaminan fidusia, kreditur juga dijamin degan
jaminan hak jaminan khusus yang lain.
Selanjutnya permasalahan yang timbul dalam praktiknya, ketika
pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia atau eksekusi terhadap harta
kekayaan debitur. Permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan eksekusi
obyek jaminan fidusia/harta kekayaan debitur yang akan dieksekusi tidak ada atau
musnah. Musnahnya harta kekayaan debitur yang akan dieksekusi bisa
dikarenakan obyek jaminan fidusia/harta kekayaan debitur secara mutlak tidak ada
lagi dalam artian harta kekayaan debitur benar-benar sudah habis. Habisnya harta
kekayaan debitur yang merupakan obyek jaminan fidusia bisa terjadi disebabkan
telah habis terjual sebelum eksekusi dijalankan atau oleh karena bencana alam
berupa kebakaran, banjir dan sebagainya.
          Berdasarkan bunyi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Fidusia di atas,
penyelesaian eksekusi terhadap hal tersebut tidak menghapuskan tagihan hak
kreditur terhadap tagihanya terhadap debitur. Tagihan yuridis tetap ada hanya
eksekusinya yang tidak dapat dijalankan, dikarenakan harta kekayaan debitur
yang akan dieksekusi tidak ada pada saat eksekusi dijalankan. Oleh karena itu hak
kreditur untuk meminta eksekusi kembali pada suatu ketika masih tetap  terbuka
apabila kreditur mengetahui dan dapat menunjukan harta kekayaan debitur. Kapan
saja terdapat harta kekayaan debitur, berarti tetap hidup haknya untuk meminta
eksekusi.
          Pelaksanaan eksekusi tidak dapat dijalankan baru dapat dikatakan bersifat
permanen, apabila sampai kapan pun harta kekayaan debitur yang menjadi obyek
jaminan tidak pernah ada lagi. Akan tetapi dari sudut teoritis maupun dari segi
kenyataan, lebih tepat mengatakan sifat eksekusi tidak dapat dijalankan dalam
permasalah ini bersifat  sementara  (temporer).  Bagaimanapun masih besar
kemungkinan akan adanya harta kekayaan debitur di kemudian hari. Pada saat
ditemui terdapat harta kekayaan debitur, eksekusi tidak dapat dijalankan yang
melekat pada eksekusi dapat dicairkan kembali.

D.  SIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.  Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan baik penelitian kepustakaan maupun
penelitian lapangan dapat disimpulan sebagai berikut:
a.  Hak parate eksekusi timbul sejak terjadi wanprestasi oleh debitur dan kreditur
berhak menjual obyek  jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri melalui lelang
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b Undang-Undang Jaminan
Fidusia.
b.  Apabila obyek jaminan fidusia dialihkan kepada pihak ketiga atau musnah
maka benda obyek jaminan untuk menutupi hutang  debitur tidak ada, tetapi
perjanjian kredit tetap berjalan dan debitur tetap bertanggung jawab.
c.  Hukum jaminan secara umum memberi perlindungan kepada kreditur, dalam
hal obyek jaminan fidusia musnah berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata maka
debitur tetap bertanggung jawab atas hutangnya kepada kreditur, tetapi apabila
obyek jaminan dialihkan kepada pihak ketiga berlaku asas  droit de suit    yang
merupakan ciri pokok dari hak kebendaan, jika debitur cidera janji maka
kreditur dapat mengeksekusi obyek jaminan fidusia ditangan siapapun benda
tersebut berada.
d.  Pengalihan obyek jaminan fidusia pada pihak ketiga atau musnah tidak
menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi obyek jaminan tersebut.
B. Rekomendasi
Berikut akan dikemukakan saran-saran penulis yang dapat  menjadi bahan
pertimbangan, yaitu sebagai berikut :
a.  Undang-Undang Jaminan Fidusia hendakanya memberikan pengaturan lebih
spesifik mengenai kedudukan benda yang telah dijadikan obyek jaminan
fidusia sebab keberasaan benda yang dijadikan obyek jaminan merup akan
kunci utama dalam hal pemberian jaminan dari debitur kepada kreditur. Mengingat pada kenyataanya masih banyak ditemuinya kendalah-kendala yang
dihadapi oleh kreditur pada saat proses pelaksanaan eksekusi obyek jaminan
fidusia. Hal ini untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak
yang berkepentingan khususnya kreditur.
b.  Dengan adanya berbagai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak debitur
terhadap pelaksanaan parate eksekusi melalui lelang eksekusi barang jaminan,
maka sebaiknya pihak kreditur bank harus dapat mengantisipasi upaya-upaya
hukum yang sering digunakan oleh debitur, pemilik jaminan serta pihak ketiga
lainnya tersebut, yang digunakan oleh mereka untuk menunda pelaksanaan
eksekusi barang jaminan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Djuhaendah  Hasan,  Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penetapan Asas Pemisahan
Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1996.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,  Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia,  Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
J. Satrio,  Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996.
J. Satrio,  Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia,  PT, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002.
Mariam Darus Badrulzaman,  Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,  Alumni,
Bandung, 1997.
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung.
Sri Soedewi Masjchoen,  Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yokyakarta, 2003.
Yahya Harahap,  Ruang  Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,  Sinar
Grafika, Jakarta, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah  dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Keputusan Presiden Nomor 139 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Kantor
Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibu Kota Propinsi di Wilayah Negara
Republik Indonesia.
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3210 K/Pdt/1984.
Majalah dan Artikel
Bactiar Sibrani,  Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia,  Badari Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Bernadette Waluyo,  Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 42  Tahun 1999,
Pro Justitia, Tahun XVIII No. 3 Juli 2000.
Fred B.G Tumbuan, Mencermati Pokok-pokok Rencana Undang-Undang Fidusia,
Penelitian Hukum Newsletter, No. 38/x/September/1999.
Netty SR Naiborhu,  Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Berdasarkan Parate
Eksekusi Oleh Kreditur, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 14 No.8, Juni 2006.

Nama : Daniel Eric Thendean
NPM : 21211728
Kelas : 2EB08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar