acac

acac
ma nta p

Minggu, 05 Mei 2013

posting 5



TINJAUAN HUKUM ATAS EKSEKUSI OBYEK JAMINAN FIDUSIA
MELALUI PARATE EKSEKUSI APABILA OBYEK JAMINAN
BERALIH KEPADA PIHAK KETIGA ATAU MUSNAH
Winda Pebrianti




C.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.  Eksekusi Obyek Jaminan Dalam Pemberian Kredit Macet dengan
Jaminan Fidusia.
Eksekusi obyek jaminan dalam pemberian kredit mecet dengan jaminan
fidusia dilakukan karena terjadi wanprestasi disebabkan ketidakmampuan debitur
melakukan kewajibannya sebagai cara penyelesaian terakhir karena upaya
penyelamatan tidak berhasil.
Sistem eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun  1999 tentang Jaminan Fidusia yang mentukan, bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a.  Pelaksanaan titel eksekutorial, yang mempunyai kekuatan sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b.  Penjualan benda yang menjadi jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri meliputi pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan.
c.  Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak.
           Ketiga eksekusi jaminan fidusia tersebut di atas masing-masing memiliki
perbedaan dalam prosedur pelaksanaannya. Untuk eksekusi yang menggunakan
titel eksekutorial berdasarkan sertifikat jaminan fidusia pelaksanaan penjualan
benda jaminan tunduk dan patuh pada Hukum Acara Perdata sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 224 H.I.R/258 RBG, yang prosedur pelaksanaanya
memerlukan waktu yang lama.
Berbeda dengan penjualan di bawah tangan
pelaksanaanya harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain adanya
kesepakatan antara pemberi fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur).
Alasanya untuk memperoleh nilai penjualan yang lebih baik untuk memperoleh
harga tertinggi.

a.  Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Melalui Penjualan Barang Jaminan
          Eksekusi dengan penjualan barang jaminan atas obyek jaminan fidusia dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu melalui parate eksekusi lewat pelelangan umum
dan penjualan di bawah tangan.
         1)  Parate Eksekusi Lewat Pelelangan Umum  (Penjualan melalui Kantor
Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) atau Balai Lelang)
Barang-barang jaminan, yang telah dibebani dengan fidusia pada dasarnya
harus dijual melalui pelelangan umum, yaitu oleh pejabat kantor lelang.
Pelelangan barang jaminan dilaksanakan menurut ketentuan dan tata cara yang
telah ditetapkan dalam  Vendu Reglement, baik Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara (KP2LN) atau Balai Lelang Swasta yang telah mendapat izin.
Sebagaimana diketahui dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 306/KMK.01/2002 Tentang Balai Lelang tanggal 13
Juni 2002. Penetapan dan pengaturan perihal Balai Lelang dimaksudkan untuk menyelenggarakan penjualan lelang. Petunjuk teknis penyelenggaraannya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN).
memberi kesempatan labih luas kepada masyarakat, khususnya dunia usaha

             Hak untuk menjual obyek jaminan tersebut atas kekuasaan sendiri yang
dikenal dengan parate eksekusi merupakan hak penerima fidusia berdasarkan
Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang Fidusia. Hak tersebut dipertegas dengan
janji yang harus secara tegas dinyatakan oleh pemberi fidusia bahwa apabila
debitur cidera janji, penerima fidusia berhak menjual obyek yang dijamin melalui
penjualan umum tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Pengadilan
Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Fidusia.
            Selanjutnya kreditur (penerima fidusia) mengambil pelunasan kreditnya dari
hasil penjualan tersebut dan mengambilkan sisa hasil penjulannya, bila ada kepada
debitur. Sebaliknya apabila hasil penjualan harta debitur tidak mencukupi,
kreditur dapat menuntutnya melalui gugatan perdata sebagai kreditur konkuren.
Sisa utang pasca eksekusi fidusia tidak hapus, melainkan masih dapat dituntut lagi
dikemudian hari atas harta lainnya.
           
            Contoh kasus, misalnya PT. “A” adalah perusahaan yang bergerak dalam
bidang textile. Untuk mengembangkan usahanya PT. “A” meminjam uang (kredit)
pada Bank “B” cabang Bandung. Pada saat kredit macet pada tahun 2007 utang
PT. “A” tercatat sebesar Rp. 187 Milyar. PT. “A” disita dan akan dilakukan
lelang umum oleh Kantor Lelang Negara. Pada saat akan dilelang ternyata mesin
tidak ada lagi dipabriknya, mesin tersebut telah diambil oleh  lessor  (perusahaan
leasing). Di sini terjadi pembuatan faktur dan dokumen kepemilikan mesin yang
tidak benar oleh debitur. Jaminan lainnya adalah tanah berikut bangunan senilai
RP.11 Milyar. Buruh menuntut upah yang belum dibayar sebesar Rp. 1,8 Milyar,
Bank “B” hanya mendapat Rp. 9,2 Milyar, Kerugian yang diderita oleh Bank “B”
sebesar Rp. 177,8 Milyar. Debitur telah melarikan diri ke luar negeri, sehingga
kreditur (Bank “B”) menderita kerugian yang sangat besar.

             Berdasarkan kasus inilah dapat dilihat perlunya bank harus memperhatikan
prinsip kehati-hatian dan memperhatikan dokumen yang diberikan oleh debitur dan menyelidiki kebenaran dari dokumen tersebut. Kemungkinan terdapat kolusi
antara pejabat bank dengan nasabah, sehingga membuat kredit menjadi macet.
Disamping itu ada itikad tidak baik dari debitur untuk melarikan dana yang telah
diperoleh dari bank. Padahal dana yang dimiliki bank adalah milik pihak ketiga
(masyarakat).
    2)  Penjualan secara di bawah tangan
Undang-Undang memungkinkan eksekusi jaminan fidusia melaui penjualan
di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima
fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
para pihak (Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Fidusia). Oleh karena
penjualan di bawah tangan dari proyek jaminan fidusia hanya dapat dilaksanakan
bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang fidusia, bank tidak mungkin
melakukan penjualan di bawah tangan terhadap obyek jaminan fidusia itu apabila
debitur menyetujuinya.
Pelaksanaan penjualan di bawah tangan baru dapat dilakukan setelah lewat
waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau
penerima fidusia dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Fidusia).
           Dalam praktiknya parate eksekusi dengan cara penjualan di bawah tangan
lebih banyak dilakukan dari pada pelaksanaan parate eksekusi melalui kantor
lelang, hal ini karena penjualan jaminan atas obyek jaminan fidusia dengan cara
penjualan di bawah tangan lebih menguntungkan. Hal ini dimungkinkan bila
debitur beritikad baik. Cara penyelesaian ini biasanya lebih cepat dan tidak ada
biaya bea lelang.
            b.  Eksekusi Obyek Jaminan Fidusia Melalui Penagihan Kredit yang
Terutang.
Kredit yang terhutang atas perjanjian yang telah dibuat dengan jaminan
fidusia dapat dilakukan penagihan. Penagihan atas kredit dilakukan dengan dua
cara yaitu penagihan di luar pengadilan dan melalui pegadilan.
1)  Penagihan di Luar Pengadilan
Penarikan kembali kredit dilakukan dengan cara penagihan, baik secara
langsung oleh Bank tanpa melalui pengadilan, maupun melalui atau bantuan pihak
ketiga. Upaya penarikan melalui penagihan inipun tidak selamanya berjalan
lancar, adakalanya harus ditempuh beberapa kali pemanggilan.
             Cara yang disebut terakhir, dalam hal jaminan fidusia harus dipenuhi
beberapa syarat yang ditetapkan Undang-Undang. Apabila menurut perkiraan
penjualan secara lelang tidak akan menghasilkan harga tertinggi, Undang-Undang
menetapkan pengecualiaan yaitu dapat dijual di bawah tangan. Ketentuan
Undang-Undang menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a)  Dengan penjualan di  bawah tangan dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.
b)  Penjualan tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan
debitur.
c)  Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh debitur dan atau kreditur kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
d)  Telah diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar dan
meliputi daerah tempat letak obyek jaminan.
e)  Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

             Apabila debitur  cukup kooperatif dalam menanggapi upaya bank menagih
kredit yang terutang, melalui negosiasi dan itikad baik yang ditunjukannya,
permasalahannya dapat diselesaikan dengan baik. Kreditur atau bank tidak
diperkenankan untuk memiliki benda yang menjadi obyek  jaminan fidusia yaitu
langsung mengambil untuk dimiliki dan diperhitungkan dengan kredit yang
terutang.
     2)  Penagihan melalui pengadilan
Apabila penarikan kembali kredit dengan cara penagihan langsung kepada
debitur tidak berhasil, tidak ada jalan lain lagi  bagi bank untuk menagih
pembayaran kembali kredit terutang melalui proses pengadilan. Khusus untuk
bank-bank milik nagara, ketentuan Undang-Undang mewajibkan penyerahan
penyelesaian kredit macet melalui Panitia Urusan Piutang Negara, dan
pelaksanaan dilakukan oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara.
Penyelesaian kredit melalui proses pengadilan, dapat dilakukan baik dengan
cara mengajukan gugatan kepada debitur maupun permintaan eksekusi, dalam hal
peningkatan jaminan fidusia sudah dilakukan dan bank penerima Sertifikat
Fidusia sebagai bukti. Permintaan sita eksekusi diajukan menyertai suatu gugatan
dilakukan dengan melampirkan :
a)  Salinan perjanjian kredit;
b)  Salinan pembebanan jaminan fidusia.
Adakalanya terhadap perintah eksekusi diajukan perlawanan oleh pihak
ketiga dengan berbagai alasan, bahkan juga dapat oleh tereksekusi sendiri dengan
dalih jumlah utang tidak sebesar gugatan kreditur. Ketentuan Undang-Undang
yang berlaku menetapkan bahwa perlawanan tidak menanggughkan eksekusi
(Pasal 207 dan 208 RIB) kecuali jika Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan
agar pelaksanaan (eksekusi) ditangguhkan sambil menunggu putusan perlawanan.


Nama : Daniel Eric Thendean
NPM : 21211728
Kelas : 2EB08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar